Dampak Psikologis pada Pelaku Aborsi
Dampak psikologis pada pelaku aborsi (wanita yang
mengandung) bervariasi, baik dalam jenis maupun intensitasnya. Sudah
tentu akan ada sebagian pelaku yang akan berkata bahwa aborsi tidak
memberi dampak negatif sedikit pun, malah aborsi memberikan rasa lega
karena bebas dari masalah. Saya tidak menyangkali akan adanya reaksi
seperti itu, sebab bagaimana pun peranan hati nurani sangatlah besar
dalam hal dampak psikologis ini. Jika kita tidak memedulikan (membukakan
mata terhadap) jeritan hati nurani, maka kita pun akan mampu
membenarkan segala tindakan kita. Namun yang benar tetap benar dan yang
salah tetap salah, ada atau tidaknya dampak psikologis tidaklah relevan.
Di bawah ini saya akan menguraikan beberapa jenis dampak psikologis
yang mungkin dialami oleh pelaku aborsi.
Rasa Bersalah
Perasaan bersalah karena telah menghilangkan nyawa
atau kehidupan seseorang sering kali muncul setelah aborsi. Tanpa ragu
pemazmur menyebut statusnya dalam kandungan sebagai bakal anak, "mata-Mu
melihat selagi bakal anak ..." (Mazmur 139:16). Alkitab terjemahan New
International Version (NIV) menggunakan istilah "my unformed body"
sedangkan The Defender's Study Bible menjelaskan bahwa makna dalam
bahasa Ibraninya berarti embrio (janin atau bakal anak). Setiap wanita
yang hamil akan merasakan bahwa yang hadir di dalam tubuhnya bukanlah
sekadar gumpalan daging. Segumpal daging sampai kapan pun tidak akan
bermetamorfosis menjadi manusia, sedangkan janin yang hidup akan
bertumbuh kembang menjadi manusia. Meski belum bertumbuh lengkap,
seorang bayi tetap seorang manusia dan pengetahuan naluriah ini tidak
bisa begitu saja dikesampingkan. Itulah sebabnya, salah satu respons
emosional setelah aborsi ialah rasa bersalah.
Rasa bersalah pascaaborsi merupakan rasa bersalah
ganda. Pelaku aborsi sudah menyadari bahwa aborsi adalah tindakan yang
salah namun dengan penuh kesadaran ia menjalaninya. Jauh lebih mudah
bagi kita untuk mengampuni diri karena kesalahan yang kita perbuat dalam
ketidaktahuan. Namun dalam kasus aborsi, pelakunya sudah tahu salah
tetapi terus memilih untuk melaksanakannya. Ini yang saya maksud dengan
rasa bersalah ganda. Masalahnya adalah rasa bersalah ganda menyulitkan
pelaku aborsi mengampuni diri sehingga pada akhirnya rasa bersalah ini
terus menggenangi hati pelaku aborsi. Dan, untuk mengatasi rasa bersalah
ini pelaku aborsi cenderung berupaya melupakan perbuatannya ini.
Rasa Malu
Rasa bersalah muncul karena pelaku aborsi tahu bahwa
ia telah melakukan suatu perbuatan yang salah. Rasa malu timbul karena
pelaku aborsi tahu bahwa ia telah melakukan suatu perbuatan yang tak
terpuji. Sekali lagi, rasa malu yang dialaminya merupakan rasa malu
ganda pula. Pelaku aborsi malu bukan saja karena ia telah melakukan
aborsi, ia pun malu karena telah berhubungan seks di luar pernikahan
(setidak-tidaknya ini adalah salah satu penyebab aborsi yang paling
umum). Sepanjang pengetahuan saya, tidak ada pelaku aborsi yang dengan
mudah mengakui perbuatannya, sekalipun ia tidak memandang aborsi dari
sudut etis-rohani. Ia cenderung menyimpan perbuatannya itu karena ia
menyadari bahwa apa yang dilakukannya bukanlah suatu tindakan terpuji.
Rasa malu karena telah mengerjakan sesuatu tidak
terpuji berpotensi memengaruhi konsep diri kita. Dengan terpaksa pelaku
aborsi harus mengikutsertakan data tambahan yang tidak terpuji ini ke
dalam gambaran atau konsep tentang siapa dirinya. Mungkin sekali ia
mulai memandang dirinya tidak sebaik atau sepositif dulu. Perubahan
konsep diri sudah tentu berimbas pada perilakunya pula. Pelaku aborsi
bisa mulai merasa tidak layak diterima oleh yang lain atau merasa tidak
sepatutnya mendapatkan perhatian dari "pemuda yang baik-baik".
Pelaku aborsi dapat pula mengembangkan perilaku
menutup diri demi menjaga kelestarian rahasia yang memalukan dirinya
itu. Ia merasa bahwa sekarang ia telah cacat tanpa mendapatkan
kesempatan untuk memperbaiki diri. Tidak ada yang dapat diperbuatnya
untuk menghilangkan noda dalam hidupnya itu. Ia hanya bisa menunduk
sedih dan malu.
Rasa Tercemar
Pada umumnya wanita lebih peka dengan kesakralan
tubuhnya dibanding pria. Itulah sebabnya, konsep pencemaran lebih sering
dikenakan pada wanita daripada pria. Aborsi dapat membuahkan perasaan
tercemar pada pelakunya oleh karena pelbagai sebab. Dalam kasus hubungan
seks pranikah, pelaku aborsi datang ke klinik aborsi dengan perasaan
tercemar karena hubungan seks pranikahnya itu. Aborsi itu sendiri
memberi dampak pencemaran karena prosedurnya yang "intrusif". Dalam
klinik yang tidak profesional, perawat pria turut terlibat dalam
prosedur aborsi yang membuat pelaku aborsi terpaksa mengekspos diri di
depan para pria asing ini. Prosedur aborsi yang melibatkan pemasukan
alat ke dalam bagian tubuh yang paling pribadi ini juga menelurkan rasa
tercemar.
Perasaan tercemar juga timbul karena pelaku aborsi
mengetahui bahwa sesuatu yang tidak suci sedang dilakukan pada tubuhnya.
Penghilangan hidup bukanlah tindakan kudus dan hal ini disadari oleh
pelaku aborsi sendiri. Itulah sebabnya, aborsi dapat memunculkan
perasaan tercemar pada pelakunya. Ia tidak merasa suci bukan saja karena
ia telah melakukan sesuatu yang tidak suci yang akhirnya membuahkan
bayi dalam rahimnya. Ia merasa tercemar karena ia membiarkan tindakan
yang tidak suci (aborsi) dilakukan pada dirinya.
Rasa Marah
Penyesalan dan kemarahan biasanya berjalan
berdampingan. Pelaku aborsi memang akan merasa lega karena lepas dari
permasalahan yang mengikatnya. Namun kelegaan ini tidak berjalan dengan
mulus sebab penyesalan pun mulai merangkak masuk. Penyesalan muncul
karena pelaku aborsi menyayangkan mengapa pada akhirnya ia harus
mengalami suatu peristiwa yang begitu tidak mengenakkan. Ia juga
menyesali mengapa ia tidak lebih tegas terhadap keinginan kekasihnya dan
keinginannya sendiri. Penyesalan mengemuka ke atas sewaktu pelaku
aborsi menengok ke belakang dan melihat kehidupannya yang salah arah
yang akhirnya berakibat serius.
Kemarahan adalah reaksi yang sering muncul setelah
penyesalan. Kemarahan ini berobjek ganda: pertama, marah terhadap pria
yang berhubungan dengannya, dan kedua, marah terhadap dirinya sendiri.
Kemarahan terhadap pria itu bisa timbul karena banyak faktor. Ia mungkin
marah karena pada dasarnya ia tidak terlalu butuh dan ingin berhubungan
seks dengannya. Ia mungkin melakukannya karena hendak menyenangkan hati
kekasihnya atau karena tidak ingin mengecewakan pacarnya itu. Ia bisa
pula marah karena merasa bahwa pada akhirnya, ia hanyalah alat pemuas
nafsu pria dan sekarang terpaksa menanggung sesuatu yang sebenarnya
bukan akibat kesalahannya.
Dalam kasus seorang kekasih yang menolak untuk
terlibat atau bertanggung jawab, kemarahan pelaku aborsi sudah tentu
akan berlipat ganda. Ia benar-benar merasa dicampakkan, seperti
peribahasa "habis manis sepah dibuang". Kemarahan pada dirinya berwujud
dalam sesalan-sesalan seperti, "Betapa bodohnya aku", "Mengapa aku tidak
bisa menjaga diriku", "Mengapa aku bisa berbuat sejauh itu", atau
"Betapa teganya aku menghilangkan kehidupan anakku sendiri". Aborsi
dapat membuat pelakunya membenci diri; ia memarahi diri yang "telah
berbuat sekejam itu", yang "tidak bertanggung jawab", yang "tidak layak
mendapat pengampunan Tuhan", dan yang "munafik". Dicampur dengan
penyesalan dan rasa bersalah, pelaku aborsi dapat mengalami penderitaan
batin yang sangat berat.
Rasa Kecewa
Pelaku aborsi juga bisa mengalami rasa kecewa yang
dalam. Kecewa bahwa ia harus mengambil tindakan yang tidak pernah
terbayangkan sebelumnya. Kecewa karena apa yang selalu didengarnya
terjadi pada orang lain sekarang malah menimpanya. Kecewa karena ia
tidak sanggup memikirkan alternatif penyelesaian yang lain dan terpaksa
mengambil jalan pintas yang ia sadari salah. Kecewa karena sesungguhnya
ia tahu bahwa masih ada pilihan lain yang dapat diambilnya namun tidak
sanggup dilakukannya yakni memelihara bayi dalam kandungannya.
Kekecewaannya yang mendalam ini dapat membuatnya
kecewa terhadap hidup dan mungkin bisa membawanya ke krisis rohani.
Hidup tidak seindah yang ia bayangkan dan harapkan sebelumnya; ia merasa
kecewa karena pada akhirnya ia menjadi bagian dari noda kehidupan dan
kecacatan dunia. Ia mungkin kecewa terhadap "pemeliharaan Tuhan" dan
mempertanyakan mengapa Tuhan tidak mencegahnya melakukan hubungan seks.
Ia mulai bertanya mengapa Tuhan membiarkannya terjerumus begitu dalam.
Di dalam kekecewaannya ia mungkin merasa terisolasi
dari lingkungannya, hidupnya, dan juga Tuhan. Ia merasa bahwa kini ia
telah menjadi seseorang yang berbeda; perasaan "Aku tidak seperti yang
dulu lagi" melekat dengan kuat pada batinnya. Ia merasa orang lain tidak
lagi dapat memahami pergumulannya, hidup ini tidak adil, dan Tuhan
telah menjauhkan diri darinya. Ia merasa kesendirian yang dalam dan
meski tampil sama seperti biasanya, hatinya hampa dan sunyi. Ia merasa
kecewa.
Seks Tanpa Garis Rohani = Sub-Manusia
Kemuliaan kodrat manusia sebagai ciptaan Tuhan yang
tertinggi terletak pada kapasitas rohaninya. Kapasitas rohani ini
memungkinkan manusia memberi respons kepada inisiatif Tuhan dan pada
akhirnya mengenal hati Tuhan. Sebaliknya, sebagai makhluk rohani manusia
pun tunduk pada hukum rohani yang Tuhan tetapkan. Itulah sebabnya,
istilah dosa dilekatkan pada perbuatan manusia saja, tidak pada ciptaan
lainnya. (Ciptaan lain memang terkena dampak dosa namun tidak berbuat
dosa.)
Berbeda dengan "berkeringat" yang merupakan fungsi
biologis belaka dan tidak tunduk pada garis rohani, seks adalah fungsi
biologis yang diatur oleh perintah Allah. Dengan kata lain, seks
bersifat biologis sekaligus rohani karena berhubungan langsung dengan
batas moral yang ditetapkan Allah. Jadi, seks di antara manusia
berkaitan erat dengan keunikan manusia sebagai ciptaannya yang tertinggi
karena seks adalah salah satu fungsi biologi yang tunduk pada hukum
Allah. Perilaku seksual manusia merupakan ciri pengenal manusia sebagai
manusia. Berkeringat, yang tidak tunduk pada perintah Allah, bukanlah
tanda pengenal manusia sebagai manusia. Keunikan manusia tidak terletak
pada keringatnya, tetapi pada perilaku seksualnya.
Seks yang dilakukan di luar pernikahan melanggar
perintah Allah dan tatkala kita melewati batas rohani ini demi menuruti
keinginan pribadi, secara tidak langsung kita pun telah menjadikan seks
sekadar kegiatan biologis dan ekspresi emosional belaka yang hampa
muatan rohani. Pada saat itulah sebetulnya kita telah menurunkan kodrat
kemuliaan kita sebagai manusia dan membuat kita merosot ke dasar
sub-manusia. Pada titik itulah sekali lagi kita diingatkan bahwa memang
kita telah kehilangan kemuliaan Allah.
Dosa dapat didefinisikan secara bebas sebagai
kegagalan manusia menjadi manusia sebagaimana yang dikehendaki Allah,
yakni menjadi manusia yang rohani. Seks pranikah merupakan kegagalan
manusia menjadi manusia seperti yang diinginkan Allah. Tuhan membenci
seks di luar nikah karena Tuhan tidak mau manusia ciptaan-Nya berubah
wujud menjadi sub-manusia.
Seks Tanpa Garis Sosial = Nafsu
Tuhan menempatkan seks dalam naungan pernikahan
supaya seks mendapatkan pengakuan sosial yang resmi. Seks pranikah
merupakan pelanggaran batas sosial karena seks pranikah dilakukan tanpa
tanggung jawab sosial. Seks pranikah adalah seks yang bermuatan nafsu
(hasrat) pribadi yang tidak lagi menghiraukan "norma" sosial.
Seks tidak pernah dimaksudkan menjadi pemuasan nafsu
pribadi belaka. Seks adalah berbagi tanggung jawab dan dengan penuh
tanggung jawab kedua insan siap pula menyambut buah keintiman seksual
itu, yakni anak manusia. Tanpa tanggung jawab sosial, manusia berhenti
menjadi manusia sebagaimana Tuhan kehendaki dan berubah menjadi onggokan
nafsu.
Seks Tanpa Garis Yuridis = Anarki
Di dalam pagar pernikahan, seks menerima perlindungan
yuridisnya (hukum) secara maksimum. Di luar pernikahan, seks merupakan
perbuatan anarkis alias sekehendak hati yang diatur oleh nafsu atau
hasrat pribadi yang pada akhirnya melahirkan kekacauan. Tanpa kehadiran
garis yuridis sebagai titik acuan, seks berjalan tanpa arah dan tanpa
kepastian. Tanggung jawab terhadap pihak yang satunya menjadi samar
karena pada dasarnya seks menjadi bagian dari kesenangan pribadi saja.
Tuhan menempatkan seks dalam garis yuridis karena
bagi Tuhan, seks mengandung tanggung jawab yang penuh terhadap pihak
yang satunya. Tanpa tanggung jawab penuh kepada pasangan kita, seks
seolah berubah menjadi sekadar hiburan malam di televisi boleh ditonton
terus, boleh dimatikan.